ARWAH YANG SUKA BERNYANYI
MEMBELI RUMAH KUNO
Pesta sederhana itu berlangsung cukup meriah. Berkali-kali Pak Wibisono saling berpandangan dengan istrinya, saling tersenyum dengan manis, menandakan kebahagiaan sekaligus kepuasaan. Para tamu undangan yang datang dari jauh adalah mereka yang mulai hari ini resmi menjadi mantan tetangga. Kedatangan mereka adalah bukti bahwa Pak Wibisono sekeluarga tetap disayangi dan dihormati, bahkan mungkin disayangkan kepergiannya. Tamu yang lain adalah orang-orang sekitar yang akan menjadi tetangga baru.
Kesediaan mereka datang mengisyaratkan bahwa keluarga Wibisono diterima dengan baik di lingkungan mereka.
Di luar itu semua, yang paling membahagiakan Pak Wibisono adalah kenyataan bahwa mulai sekarang ia sudah memiliki rumah sendiri, setelah bertahun-tahun sejak menikah mereka hanya menempati rumah kontrakan.
Katanya, kesempurnaan seorang lelaki adalah apabila ia sudah memiliki sebuah rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Pak Wibisono bangga, biar pun untuk memiliki rumah ini, ia terpaksa harus meminjam uang kantor dan mengembalikannya dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Ia juga harus merelakan menjual sedan kesayangan dan menghabiskan hampir seluruh tabungannya.
Tapi kalau tidak begitu, kapan lagi kesempatan itu ada?
Rumah tua di pinggir kota ini tidaklah terlalu jelek.
Dengan sedikit perbaikan di sana-sini, Pak Wibisono yakin bisa menyulapnya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Tenang karena letaknya yang di pinggiran, dan sejuk karena dekat perbukitan serta areal perkebunan kopi.
Semula Ibu Wibi kurang setuju dengan pilihan suaminya. Begitu juga dengan Miko, anak sulung mereka. Kata Miko, rumah tua ini kesannya sangat angker. Melihatnya dari luar, apalagi pada malam hari, selalu membuat bulu kuduknya berdiri. Seperti markas vampire!
Pak Wibisono selalu menertawakan anggapan putra tertuanya itu.
Kata beliau, itu akibat terlalu sering menonton film horor atau misteri di televisi. Menurut Pak Wibisono, rumah tua berarsitektur Belanda ini bisa menjadi investasi yang kelak amat berharga. Antik dan langka. Atas pertimbangan itulah Pak Wibisono bertahan dengan pilihannya. Apalagi ia tidak sendirian. Di luar dugaan, Karmila sangat antusias dengan pilihan ayahnya tersebut. Gadis manis, adik Miko yang duduk di kelas tiga SMP itu, justru selalu menyemangati ayahnya untuk segera menyelesaikan transaksi pembelian. Dua lawan dua. Dan karena ternyata rumah ini dijual dengan harga yang terbilang cukup murah, maka Ibu Wibi dan Miko terpaksa mengalah.
Kesediaan mereka datang mengisyaratkan bahwa keluarga Wibisono diterima dengan baik di lingkungan mereka.
Di luar itu semua, yang paling membahagiakan Pak Wibisono adalah kenyataan bahwa mulai sekarang ia sudah memiliki rumah sendiri, setelah bertahun-tahun sejak menikah mereka hanya menempati rumah kontrakan.
Katanya, kesempurnaan seorang lelaki adalah apabila ia sudah memiliki sebuah rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Pak Wibisono bangga, biar pun untuk memiliki rumah ini, ia terpaksa harus meminjam uang kantor dan mengembalikannya dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Ia juga harus merelakan menjual sedan kesayangan dan menghabiskan hampir seluruh tabungannya.
Tapi kalau tidak begitu, kapan lagi kesempatan itu ada?
Rumah tua di pinggir kota ini tidaklah terlalu jelek.
Dengan sedikit perbaikan di sana-sini, Pak Wibisono yakin bisa menyulapnya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Tenang karena letaknya yang di pinggiran, dan sejuk karena dekat perbukitan serta areal perkebunan kopi.
Semula Ibu Wibi kurang setuju dengan pilihan suaminya. Begitu juga dengan Miko, anak sulung mereka. Kata Miko, rumah tua ini kesannya sangat angker. Melihatnya dari luar, apalagi pada malam hari, selalu membuat bulu kuduknya berdiri. Seperti markas vampire!
Pak Wibisono selalu menertawakan anggapan putra tertuanya itu.
Kata beliau, itu akibat terlalu sering menonton film horor atau misteri di televisi. Menurut Pak Wibisono, rumah tua berarsitektur Belanda ini bisa menjadi investasi yang kelak amat berharga. Antik dan langka. Atas pertimbangan itulah Pak Wibisono bertahan dengan pilihannya. Apalagi ia tidak sendirian. Di luar dugaan, Karmila sangat antusias dengan pilihan ayahnya tersebut. Gadis manis, adik Miko yang duduk di kelas tiga SMP itu, justru selalu menyemangati ayahnya untuk segera menyelesaikan transaksi pembelian. Dua lawan dua. Dan karena ternyata rumah ini dijual dengan harga yang terbilang cukup murah, maka Ibu Wibi dan Miko terpaksa mengalah.
Sentuhan istrinya itu membuat Pak Wibisono tersadar dari lamunannya. "Ya? Apa?"
"Sudah cukup larut...," bisik Ibu Wibi. Pak Wibisono mengerti maksud istrinya. Sudah waktunya memberikan pidato singkat berisi ucapan terima kasih dan selamat jalan. Pesta selamatan pindah ke rumah baru ini akan segera diakhiri. Pak Wibisono cepat bergeser dari posisinya sambil mengedarkan pandangan. Benar, para tamu telah selesai dengan hidangan penutup. Ia berjalan menuju ke sudut kosong, menepuk tangan beberapa kali untuk meminta perhatian para tamu.
Para tamu serentak memandang ke arah Pak Wibisono dan menghentikan kesibukannya masing-masing.
"Bapak dan ibu sekalian...." Pak Wibisono membuka suara. Tapi suaranya tertelan kembali manakala tiba-tiba terdengar suara amat berisik dan lantang dari balkon.
Serentak semua mata memandang ke atas. Seorang gadis manis berada di balkon, menari berputar-putar sambil bernyanyi-nyanyi sembarangan dengan suara keras dan melengking.
"Mila!" Ibu Wibi dengan panik berseru ke arah putrinya.
Miko untuk sesaat seperti takjub dan terpesona melihat kelakuan adiknya itu.
Namun ketika teriakan dan pelototan Ibu Wibi tak juga menghentikan keanehan Karmila, dengan cepat Miko berlari menaiki anak tangga untuk mendapatkan adiknya.
"Mila! Apa-apaan kamu?! Tidak tahu malu! Siapa suruh kamu ngasih hiburan?"
Miko mendorong tubuh adiknya, menjauh dari pagar balkon agar Karmila tak terlihat oleh orang-orang lagi dari bawah.
Karmila mendadak menghentikan gerakan dan nyanyiannya. Ia menatap saudara tuanya dengan pandangan beringas.
Tanpa sadar Miko melangkah mundur. Ini untuk pertama kalinya ia memperoleh sikap adiknya yang begitu aneh. Mata itu begitu buas dan penuh ancaman!
"Mila! Kamu kenapa?" Tiba-tiba Miko merasa cemas.
Tak ada jawaban, melainkan teriakan dengan irama yang menyakitkan telinga. Sebuah nyanyian, lagu anak-anak dengan nada yang amat sumbang.
"Pelangi-pelangi... alangkah indahnyaaaa...."
Terdengar tawa dan tepuk tangan dari bawah. Terdengar suara Ibu Wibi meminta maaf. Memalukan sekali! Miko bergerak mendekap mulut Karmila, namun Karmila semakin meronta bahkan menggigit telapak tangan kakaknya. Pada saat keduanya masih bergumul, Pak Wibisono telah pula sampai di atas.
"Ada apa? Apa maunya kamu, Mila?!"
Pak Wibisono menghardik, berusaha menutup rasa malunya terhadap tamu-tamunya dengan mengeluarkan suara amarah yang tak kalah lantangnya.
"Mendadak dia kayak kerasukan setan, Pak. Tangan saya malah digigitnya!" Miko yang menjawab sambil terus memegangi tubuh adiknya. Sementara itu Karmila terus bernyanyi dan semakin ngawur.
Plak!
Di luar dugaan, Pak Wibisono menampar pipi putrinya dengan cukup keras. Miko sempat tercengang melihat tindakan ayahnya. Tapi ia lebih terkejut lagi ketika melihat tubuh Karmila mendadak mengejang dan mendadak pula terkulai. Miko dengan sigap memeluk tubuh adiknya sebelum terjatuh.
Hanya beberapa detik tubuh Karmila terkulai tak berdaya. Dalam waktu yang amat singkat, mata Karmila yang semula terpejam telah terbuka. Beberapa kali mata itu terkerjap. Karmila menampakkan ekspresi kebingungan.
"Lho? Ada apa ini?" Karmila meronta dari pelukan kakaknya.
"Mila?" Miko menatap cemas. "Kamu kenapa? Kamu... kamu... tidak apa-apa?"
Karmila nampak semakin kebingungan. "Memangnya saya kenapa?"
"Miko, bawa adikmu masuk ke kamar, sementara Bapak mengurus tamu-tamu. Kamu paham?"
Miko mengerti maksud ayahnya. "Mari ke kamar, Mila!" bujuknya sembari menarik tangan adiknya.
Pak Wibisono telah turun lagi ke lantai bawah, menjumpai tamu-tamunya. Ia meminta maaf atas gangguan kecil yang telah ditimbulkan oleh Karmila, putrinya. Sesaat kemudian para tamu menyalami dan berpamitan.
Setelah suasana sepi, Pak Wibisono menutup semua pintu, lalu dengan tergesa-gesa naik ke lantai atas.
Di kamar putrinya itu, Ibu Wibi tengah menanyai Karmila dengan perasaan cemas.
"Aneh kan, Pak?" Ibu Wibi menatap suaminya kebingungan. "Mila sama sekali lupa dengan apa yang telah dilakukannya tadi..."
Pak Wibisono menatap Karmila meminta penjelasan. Karmila masih duduk sambil mendekap bantal. Barkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mila sungguh-sungguh tidak mengerti, tidak ingat apa-apa. Sumpah! Rasanya... Mila tidak ngapa-ngapain. Tadinya cuma pusing... dan Mila kan sudah ngomong sama Ibu, bahwa Mila sedikit pusing dan ingin rebahan dulu di kamar. Setelah itu... rasanya Mila ketiduran... lalu?"
"Kamu tidak sadar bahwa kamu sudah bikin kacau dan malu-maluin?!" Miko membentak, membuat Karmila sedikit ketakutan."
"Mila bingung!" jerit Karmila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar